Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 09 Oktober 2012

Panggil Aku Kadek!



Saat itu di Ubud, aku duduk menanti senja. Aku melihat beberapa gerbang Puri terpahat dengan Indah. Aku menghela nafas dan berbisik “betapa Indahnya Budaya Bali”. Aku memeluk erat tubuhku sendiri dan tiba-tiba aku merasakan  kehadiran sesosok Pria dan duduk disampingku. Wayan, aku segera tersenyum begitu aku tahu pria yang duduk disebelahku adalah pria yang selama ini menjadi idolaku. Yah, idola dengan segala kesempurnaannya.

Aku, Ayudia Dwi Putri berusia 20 tahun. Anak kedua dari 3 bersaudara. Mahasiswi akhir Universitas Negeri di Bali. Saat ini tentu tugas akhirku adalah prioritasku. Tapi, kenyataannya sosok pria hadir mengusik pikiranku. I Wayan Kusuma Putra, laki-laki yang aku kenal semenjak semester awal. Kini, aku baru menyadari jika ternyata aku cinta dia sejak dulu.

Waktu terasa sangat lama untuk akhirnya menyingkirkan jarak antara aku dan Wayan. 3 tahun terasa sangat lama untuk membuatku sadar ada cinta dihatiku, cinta yang selama ini aku kira milik lelaki yang menjadi kekasihku. “benarkah ini cinta?” aku sama sekali tidak berfikir ini akan datang.

Waktu bersama Wayan sangat singkat. Aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bersama dia. Sampai saat Tuhan mempertemukan kita dan memberikan sedikit waktu, aku semakin tersadar ada cinta untuk Wayan. “Akankah aku dan Wayan…..?” Aku menghentikan pertanyaanku. Aku sadar kita tidak mungkin akan bersama. Wayan, dia seorang laki-laki yang aku kira memiliki segudang kesempurnaan, dan aku, gadis perantauan biasa yang tidak memiliki satu hal pun yang dapat menjadikan aku dominan dimata dunia.

Wayan semakin sempurna dimataku. Dia bahkan memberikan aku sedikit harapan setidaknya untuk aku bisa menaruh sedikit hati untuknya. Namun, sesaat aku sadar aku salah. Dia tidak mengharapkan lebih atas aku. Saat harapan itu mulai besar, saat itu juga aku sadar aku dan Wayan berbeda.

Ponselku berdering “Yu, makan siang mau? Gue laper..” benarkah? Aku merasa ini suara Wayan. ”Ayuuu, mau gaaa?” Wayan seperti berteriak dibelakang gagang ponselnya.
emm, y  yaa. Bisa. Kapan?” aku terbata.
besok aja, terus gue mati kelaperan.” Wayan melanjutkan dengan tawa kecil.
Siang itu aku memilih salah satu restoran Sushi karena Wayan memintaku memilih tempat makan siang kita. Kenapa Sushi? Karena aku tau Sushi merupakan salah satu makanan favoritnya. Setidaknya aku bisa melihat dia makan dengan lahap siang ini. Dan, benar saja Wayan terlihat senang atas pilihan menu makan siang kali ini. “jalan yuk!” Wayan berkata sambil melanjutkan menghabiskan minumannya.
kemana? Oh ya, gue ngerasa aneh kok ga biasanya lo ajak gue ketemu” aku membalas.
yaudah ikut ajaa” Aku penasaran kenapa aku merasa hari ini Wayan ingin menyenangkan aku. kita berhenti disebuah rak besar yang berisi banyak pernak-pernik kesukaanku. Ada apa ini? Aku melirik kearah Wayan, dan dia tersenyum. Segera mungkin aku berjalan menjauhi rak-rak toko itu. Wayang menarik tanganku dan berkata “kenapa, Yu?
Aku marah “apa-apan sih nih? Ada apa? Lo bukan kaya Wayan yang gue kenal. Lo kenapa?
gue Cuma mau sekali aja dalam hidup gue bikin lo seneng. Selama ini, lo selalu menyenagkan gue meski secara ga langsung. Lo mungkin ga tau gue selalu happy ngeliat berbagai postingan lo di facebook dan twitter. Itu alasan gue suka komen..
Dheg.. dadaku terasa sesak mendengarnya. Siapa orang yang ada dihadapanku ini? Wayan? Ah tidak mungkin. Selama ini aku yang mengidolakannya, dia bahkan tidak tahu betapa aku menyukainya dan aku sama sekali tidak pernah berfikir dia akan seperti ini.
gue mau pulang”….. Aku menyelesaikan.


Aku melihat Ubud sangat Indah hari ini. Petakan sawah, gapura yang cantik. “udah lama yu disini?” Wayan… aah aku senang dia menghampiri aku disini. “lo udah ga marah kaan sama gue?” dia melanjutkan.
Aku tersenyum “engga, maafin gue ya? Gue terlalu emosional
gue seneng lo udah senyum lagi. Manisan gini tau.” Wayan tidak pernah seperti ini. Ah biar saja toh aku merasakan senang.
kita ga mungkin kan bisa sama-sama? Gue ngerasa lo udah tau semuanya, udah tau gue ada hati sama lo, udah tau kalo gue lebih dari sekedar mengidolakan elo. Dan sekarang lo dateng seolah mau kasih gue kesempatan untuk bisa sama lo. Ya kaan?” aku seolah tidak bisa berhenti berbicara. Angin kencang Ubud membuat udara seolah ikut bersitegang.
kita beda, lo dengan segala kelebihan lo, dengan segala hal yang membuat lo menjadi sangat sempurna dimata gue. kita jauh banget, Kita ga mungkin bisa deket apapun caranya, bagaimanapun jarak mendekatkan kita. Gue sakit, lo harusnya ga kaya gini, gue ga boleh punya perasaan kaya gini. gue benci sama lo. gue benci karena lo, gue harus ngerasa kehilangan tanpa gue pernah dikasih kesempatan untuk bisa ngerasa memiliki. Kita beda. Berbeda latar belakang, berbeda cara pandang, berbeda budaya…..”
“berbeda Agama” Wayan yang sejak tadi diam memotong pembicaraanku. Aku terbata dan menangis. Aku kecewa, bukan karena Wayan. Karena diriku sendiri. Aku marah dengan diriku yang bodoh, yang tidak sebanding dengan Wayan. Jika saja aku lebih cantik, lebih pintar, lebih segalanya, kesempatan dekat dengannya mungkin akan lebih banyak. Tapi, aku ingat Tuhanku sayang denganku dengan segala yang sudah diberikanNya kepadaku selama ini. Aku menangis, Wayan memelukku.


Aku tersadar. Ibu berteriak menyuruhku sembayang Ashar. Aku terlahir sebagai muslim dan orang tua selalu mengajarkan Agama dengan baik kepadaku dan saudara-saudaraku. Ternyata aku hanya berkhayal. Berkhayal Wayan akan datang kepadaku dan aku menolaknya. Konyol. pft, kebiasaan buruk!

Esok harinya, di perpustakaan kampus aku bertemu Wayan. Kami berbincang sedikit dan Wayan memberikan sedikit celotehannya yang membuat aku semakin merasa aku mencintai dia. Keadaan masih sama. Aku masih sebagai gadis Jawa yang bersekolah di Bali, yang menidolakan laki-laki Bali, dan sekarang tertarik dengan budaya Bali. Wayan, laki-laki dengan segala kesempurnaannya yang sampai sekarang tidak mengetahui ada aku, perempuan yang ternyata sudah memperhatikan dia dari hal yang paling kecil sejak pertemuan pertama semester awal perkuliahan.

Aku sempat berfikir, andaikan aku bisa bilang “bli tresna ken adi” semudah aku mengucapkan satu, dua, tiga. Andaikan kita bisa bersama semudah aku menyalakan kendaraan bermotorku. Mungkin jika aku berada disatu kebudayaan dengan Wayan aku tak perlu ragu untuk membuat aku semakin dekat dengan Wayan. Haaah,  Andaikan aku bisa berganti nama dan kebudayaan semudah aku mengangkat tanganku saat aku yakin bisa menjawab pertanyaan dosen di kelas. Aku tertawa kecil, Andaipun bisa, aku ingin dipanggil Kadek J

0 komentar:

Posting Komentar