Saat itu di Ubud, aku duduk
menanti senja. Aku melihat beberapa gerbang Puri terpahat dengan Indah. Aku menghela
nafas dan berbisik “betapa Indahnya
Budaya Bali”. Aku memeluk erat tubuhku sendiri dan tiba-tiba aku merasakan kehadiran sesosok Pria dan duduk disampingku. Wayan, aku segera tersenyum
begitu aku tahu pria yang duduk disebelahku adalah pria yang selama ini menjadi
idolaku. Yah, idola dengan segala kesempurnaannya.
Aku, Ayudia Dwi Putri berusia
20 tahun. Anak kedua dari 3 bersaudara. Mahasiswi akhir Universitas Negeri di
Bali. Saat ini tentu tugas akhirku adalah prioritasku. Tapi, kenyataannya sosok
pria hadir mengusik pikiranku. I Wayan Kusuma Putra, laki-laki yang aku kenal
semenjak semester awal. Kini, aku baru menyadari jika ternyata aku cinta dia
sejak dulu.
Waktu terasa sangat lama untuk
akhirnya menyingkirkan jarak antara aku dan Wayan. 3 tahun terasa sangat lama
untuk membuatku sadar ada cinta dihatiku, cinta yang selama ini aku kira milik
lelaki yang menjadi kekasihku. “benarkah
ini cinta?” aku sama sekali tidak berfikir ini akan datang.
Waktu bersama Wayan sangat
singkat. Aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bersama dia. Sampai saat
Tuhan mempertemukan kita dan memberikan sedikit waktu, aku semakin tersadar ada
cinta untuk Wayan. “Akankah aku dan Wayan…..?” Aku menghentikan pertanyaanku. Aku sadar kita tidak mungkin akan bersama. Wayan,
dia seorang laki-laki yang aku kira memiliki segudang kesempurnaan, dan aku,
gadis perantauan biasa yang tidak memiliki satu hal pun yang dapat menjadikan
aku dominan dimata dunia.
Wayan semakin sempurna
dimataku. Dia bahkan memberikan aku sedikit harapan setidaknya untuk aku bisa menaruh
sedikit hati untuknya. Namun, sesaat aku sadar aku salah. Dia tidak
mengharapkan lebih atas aku. Saat harapan itu mulai besar, saat itu juga aku
sadar aku dan Wayan berbeda.
Ponselku berdering “Yu, makan siang mau? Gue laper..”
benarkah? Aku merasa ini suara Wayan. ”Ayuuu,
mau gaaa?” Wayan seperti berteriak dibelakang gagang ponselnya.
“emm, y yaa. Bisa. Kapan?” aku terbata.
”besok aja, terus gue mati kelaperan.” Wayan melanjutkan dengan tawa
kecil.
Siang itu aku memilih salah
satu restoran Sushi karena Wayan memintaku memilih tempat makan siang kita. Kenapa
Sushi? Karena aku tau Sushi merupakan salah satu makanan favoritnya. Setidaknya
aku bisa melihat dia makan dengan lahap siang ini. Dan, benar saja Wayan
terlihat senang atas pilihan menu makan siang kali ini. “jalan yuk!” Wayan berkata sambil melanjutkan menghabiskan
minumannya.
“kemana? Oh ya, gue ngerasa aneh kok ga biasanya lo ajak gue ketemu”
aku membalas.
“yaudah ikut ajaa” Aku penasaran kenapa aku merasa hari ini Wayan
ingin menyenangkan aku. kita berhenti disebuah rak besar yang berisi banyak
pernak-pernik kesukaanku. Ada apa ini? Aku melirik kearah Wayan, dan dia tersenyum.
Segera mungkin aku berjalan menjauhi rak-rak toko itu. Wayang menarik tanganku
dan berkata “kenapa, Yu?”
Aku marah “apa-apan sih nih? Ada apa? Lo bukan kaya
Wayan yang gue kenal. Lo kenapa?”
“gue Cuma mau sekali aja dalam hidup gue bikin lo seneng. Selama ini, lo
selalu menyenagkan gue meski secara ga langsung. Lo mungkin ga tau gue selalu
happy ngeliat berbagai postingan lo di facebook dan twitter. Itu alasan gue
suka komen..”
Dheg.. dadaku terasa sesak
mendengarnya. Siapa orang yang ada dihadapanku ini? Wayan? Ah tidak mungkin. Selama
ini aku yang mengidolakannya, dia bahkan tidak tahu betapa aku menyukainya dan
aku sama sekali tidak pernah berfikir dia akan seperti ini.
“gue mau pulang”….. Aku menyelesaikan.
Aku melihat Ubud sangat Indah
hari ini. Petakan sawah, gapura yang cantik. “udah lama yu disini?” Wayan… aah aku senang dia menghampiri aku
disini. “lo udah ga marah kaan sama gue?” dia melanjutkan.
Aku tersenyum “engga, maafin gue ya? Gue terlalu emosional”
“gue seneng lo udah senyum lagi. Manisan gini tau.” Wayan tidak
pernah seperti ini. Ah biar saja toh aku merasakan senang.
“kita ga mungkin kan bisa sama-sama? Gue ngerasa lo udah tau semuanya,
udah tau gue ada hati sama lo, udah tau kalo gue lebih dari sekedar
mengidolakan elo. Dan sekarang lo dateng seolah mau kasih gue kesempatan untuk
bisa sama lo. Ya kaan?” aku seolah tidak bisa berhenti berbicara. Angin
kencang Ubud membuat udara seolah ikut bersitegang.
“kita beda, lo dengan segala kelebihan lo, dengan segala hal yang
membuat lo menjadi sangat sempurna dimata gue. kita jauh banget, Kita ga
mungkin bisa deket apapun caranya, bagaimanapun jarak mendekatkan kita. Gue sakit,
lo harusnya ga kaya gini, gue ga boleh punya perasaan kaya gini. gue benci sama lo. gue benci karena lo, gue harus ngerasa kehilangan tanpa gue pernah dikasih kesempatan untuk bisa ngerasa memiliki. Kita beda. Berbeda
latar belakang, berbeda cara pandang, berbeda budaya…..”
“berbeda
Agama” Wayan
yang sejak tadi diam memotong pembicaraanku. Aku terbata dan menangis. Aku kecewa,
bukan karena Wayan. Karena diriku sendiri. Aku marah dengan diriku yang bodoh,
yang tidak sebanding dengan Wayan. Jika saja aku lebih cantik, lebih pintar,
lebih segalanya, kesempatan dekat dengannya mungkin akan lebih banyak. Tapi,
aku ingat Tuhanku sayang denganku dengan segala yang sudah diberikanNya
kepadaku selama ini. Aku menangis, Wayan memelukku.
Aku tersadar. Ibu berteriak
menyuruhku sembayang Ashar. Aku terlahir sebagai muslim dan orang tua selalu
mengajarkan Agama dengan baik kepadaku dan saudara-saudaraku. Ternyata aku hanya berkhayal. Berkhayal Wayan akan datang kepadaku dan aku menolaknya. Konyol. pft, kebiasaan buruk!
Esok harinya, di perpustakaan
kampus aku bertemu Wayan. Kami berbincang sedikit dan Wayan memberikan sedikit
celotehannya yang membuat aku semakin merasa aku mencintai dia. Keadaan masih
sama. Aku masih sebagai gadis Jawa yang bersekolah di Bali, yang menidolakan
laki-laki Bali, dan sekarang tertarik dengan budaya Bali. Wayan, laki-laki
dengan segala kesempurnaannya yang sampai sekarang tidak mengetahui ada aku,
perempuan yang ternyata sudah memperhatikan dia dari hal yang paling kecil
sejak pertemuan pertama semester awal perkuliahan.
Aku sempat berfikir, andaikan
aku bisa bilang “bli tresna ken adi” semudah aku mengucapkan
satu, dua, tiga. Andaikan kita bisa bersama semudah aku menyalakan kendaraan
bermotorku. Mungkin jika aku berada disatu kebudayaan dengan Wayan aku tak
perlu ragu untuk membuat aku semakin dekat dengan Wayan. Haaah, Andaikan aku bisa berganti nama dan kebudayaan
semudah aku mengangkat tanganku saat aku yakin bisa menjawab pertanyaan dosen
di kelas. Aku tertawa kecil, Andaipun bisa, aku ingin dipanggil Kadek J
0 komentar:
Posting Komentar